CATUSPATHA: Arkeologi Majapahit

DESKRIPSI BUKU

Penulis:  Agus Aris Munandar

Penerbit : Wedatama Widya Sastra

Kota : Jakarta

Tahun: 2011

Halaman : 334

Nomor Panggil : 930 AGU

Lokasi : Perpustakaan Umum Magetan

Berdasarkan pembagian arsitektur secara vertikal, candi Hindu maupun candi Budha melambangkan lapisan tiga dunia, yaitu dunia keburukan, dunia yang agak baik, dan dunia kebajikan sepenuhnya. Hal ini dinyatakan tegas dalam bangunan candi, terutama ornamen dan relief cerita yang mencerminkan lapisan alam tertentu. [p.11]

Tradisi yang memunculkan adanya peran seorang pengiring setia pada seorang tuan yang kemudian disebut Punakawan, sangat mungkin baru terjadi setelah masa pemerintahan Airlangga (Abad ke-11). Prasasti Pucangan menyebut dengan jelas adanya hubungan antara ksatria (Airlangga) dan seorang pengiring/pengawal setia (Narottama). [p.282]

Buku ini memuat kajian artefak arkeologis, meliputi candi, arca, relief, prasasti, dan bangunan hunian sejak abad ke-8 hingga abad ke-15. sejak zaman klasik tua hingga klasik muda. sejak Mataram kuno hingga bermuara pada Majapahit.

Analisis didalamnya meliputi fungsi, arsitektur, ragam hias, kisahan (cerita), ciri-ciri, keistimewaan dan/atau kekhasan, dan berbagai hal berkenaan obyek arkeologis. Analisis tidak saja berdasarkan bukti-bukti arkeologis dan keterkaitan lingkungan alam. Namun juga mengaitkannya dengan teks sastra yang sejaman maupun yang senafas dengan obyek penelitian.

Salah satu yang ditonjolkan dalam buku ini adalah menyandingkan candi-candi Hindu dengan candi-candi Budha. Tujuannya untuk membuat telaah mengenai perbedaan dan persamaan, baik mengenai arsitektur, arca, ragam hias, maupun fungsinya dalam masyarakat.

Salah satu permasalahan arkeologis yang belum terang benderang adalah perihal keruntuhan Majapahit. Kapan kerajaan itu benar-benar tidak mempunyai kuasa lagi di tanah Jawa, akhir abad ke-15 ataukah di awal abad ke-16. meski sudah banyak pendapat yang dikemukakan para ahli, pendapat-pendapat tersebut masih dapat didiskusikan lagi.

Dalam kitab Nãgarakertãgama karangan Mpu Prapanca, keraton Rajasanagara didirikan di salah satu sudut dari catuspatha, yang dalam bahasa Bali sekarang dinamakan juga pempatan agung. Disanalah satu sudutnya didirikan Puri Agung, tempat seorang raja atau bangsawan bersemanyam. Agaknya tradisi membangun permukiman di tepian perempatan jalan tersebut akarnya berasal dari keemasan Majapahit, era Hayam Wuruk (1350-1389M) sebagaimana diuraikan dalam kitab tersebut.

Para ahli sejarah kuno dan arkeologi klasik Indonesia sepakat Trowulan adalah bekas kota Majapahit. Namun demikian, banyak tempat dan kepurbakalaan di Trowulan yang belum dapat dicocokkan dengan gambaran Majapahit sebagaimana uraian kitab Nãgarakertãgama. Kolam Segaran atau kanal di Trowulan yang ditemukan jejaknya saling berpotongan, hanya beberapa contoh persoalan yang masih perlu dikaji ulang dan diperdalam.

Buku bersubyek sejarah nusantara ini salah satu koleksi menarik Perpustakaan Umum Magetan. Ayo berkunjung …

Artikel yang Direkomendasikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *